KEBUDAYAAN
MASYARAKAT BALI
1.RELIGI DAN UPACARA ADAT BALI
A. RELIGI
Agama yang di anut oleh
sebagian orang Bali adalah agama Hindu sekitar 95%, dari jumlah penduduk Bali,
sedangkan sisanya 5% adalah penganut agama Islam, Kristen, Katholik, Budha, dan
Kong Hu Cu. Tujuan hidup ajaran Hindu adalah untuk mencapai keseimbangan dan
kedamaian hidup lahir dan batin.orang Hindu percaya adanya 1 Tuhan dalam bentuk
konsep Trimurti, yaitu wujud Brahmana (sang pencipta), wujud Wisnu (sang
pelindung dan pemelihara), serta wujud Siwa (sang perusak). Tempat beribadah
dibali disebut pura. Tempat-tempat pemujaan leluhur disebut sangga. Kitab suci
agama Hindu adalah weda yang berasal dariIndia.
Orang yang meninggal dunia pada orang Hindu diadakan upacara Ngaben yang dianggap sanggat penting untuk membebaskan arwah orang yang telah meninggal dunia dari ikatan-ikatan duniawinya menuju surga. Ngaben itu sendiri adalah upacara pembakaran mayat. Hari raya umat agama hindu adalah Nyepi yang pelaksanaannya pada perayaan tahun baru saka pada tanggal 1 dari bulan 10 (kedasa), selain itu ada juga hari raya galungan, kuningan, saras wati, tumpek landep, tumpek uduh, dan siwa ratri.
Pedoman dalam ajaran agama Hindu yakni : (1).tattwa (filsafat agama), (2). Etika (susila), (3).Upacara (yadnya). Dibali ada 5 macam upacara (panca yadnya), yaitu (1). Manusia Yadnya yaitu upacara masa kehamilan sampai masa dewasa. (2). Pitra Yadnya yaitu upacara yang ditujukan kepada roh-roh leluhur. (3).Dewa Yadnya yaitu upacara yang diadakan di pura / kuil keluarga.(4).Rsi yadnya yaituupacara dalam rangka pelantikan seorang pendeta. (5). Bhuta yadnya yaitu upacara untuk roh-roh halus disekitar manusia yang mengganggu manusia.
Mayoritas masyarakat di Tanah Dewata memiliki kepercayaan Hindu. Sebagaimana
diketahui banyak orang bahwa agama Hindu ini disebut-sebut sebagai agama yang
tertua di dunia yang berasal dari Wahyu Tuhan kepada para Rsi di India di tempo
dulu.Orang yang meninggal dunia pada orang Hindu diadakan upacara Ngaben yang dianggap sanggat penting untuk membebaskan arwah orang yang telah meninggal dunia dari ikatan-ikatan duniawinya menuju surga. Ngaben itu sendiri adalah upacara pembakaran mayat. Hari raya umat agama hindu adalah Nyepi yang pelaksanaannya pada perayaan tahun baru saka pada tanggal 1 dari bulan 10 (kedasa), selain itu ada juga hari raya galungan, kuningan, saras wati, tumpek landep, tumpek uduh, dan siwa ratri.
Pedoman dalam ajaran agama Hindu yakni : (1).tattwa (filsafat agama), (2). Etika (susila), (3).Upacara (yadnya). Dibali ada 5 macam upacara (panca yadnya), yaitu (1). Manusia Yadnya yaitu upacara masa kehamilan sampai masa dewasa. (2). Pitra Yadnya yaitu upacara yang ditujukan kepada roh-roh leluhur. (3).Dewa Yadnya yaitu upacara yang diadakan di pura / kuil keluarga.(4).Rsi yadnya yaituupacara dalam rangka pelantikan seorang pendeta. (5). Bhuta yadnya yaitu upacara untuk roh-roh halus disekitar manusia yang mengganggu manusia.
Ajaran Hindu merupakan sebuah anutan yang mengutamakan keselarasan yang bernilai kedamaian universal dengan memandang bahwa setiap manusia berada dalam atap kekeluargaan yang besar. Kitab umat Hindu ialah Weda yang merupakan ungkapan prinsip-prinsip universal yang erat hubungannya dengan nilai moral dan spiritual. Hal-hal yang utama dalam pemikiran agama Hindu yang berkontribusi pada pandangan universal, sebagai berikut:
-Keselarasan dan Toleransi
Salah satu ajarannya yang paling agung ialah sikap toleransi keberagamaan dan keselarasan universal. Para Rsi dimasa dulu telah banyak menemukan bahwa terdapat banyak sekali cara untuk mencapai sebuah kenyataan mutlak dengan cara yang berbeda-beda pula. Para Rsi tersebut menyebutnya dalam kitab Rg Weda: “Ekam sat viprah bahudha vadanti“, artiya “Kebenaran itu adalah satu, hanya orang bijaksana yang menyebutnya dengan banyak nama“.
-Kesucian Seseorang
Dalam pandangan Hindu setiap individu itu memiliki intisari yang sama dengan Tuhan. Setiap individu tidak memandang adanya perbedaan dengan individu lain tetapi dalam kenyataan “atman” (roh atau jiwa) yang bersatu di dalam tubuh atau fisik. Atman yang merupakan pusat spiritual dalam tubuh manusia adalah sumber dari pengetahuan, kekuatan, cinta kasih, dan kemurnian yang tidak ada batasnya. Menurut pandangan predominan Hindu, atman yang sama berada dalam semua makhluk hidup termasuk hewan dan tumbuhan.
-Doa Universal
Hal lain yang utama dalam agama Hindu adalah keuniversalan dari doanya. Umat Hindu berdoa untuk semua makhluk, dan dari doa tertentu yang dinyanyikan setiap hari oleh jutaan umat Hindu pada akhir doa atau upacara keagamaan, yang berbunyi: “Semoga semua manusia berbahagia; semoga semua manusia sehat selalu; semoga semua manusia mendapatkan kemakmuran; semoga tidak ada seorangpun yang menderita“.
*Hari raya
Hari Raya Nyepi dirayakan setiap tahun Baru Caka (pergantian
tahun Caka). Yaitu pada hari Tilem Kesanga (IX) yang merupakan hari pesucian
Dewa-Dewa yang berada di pusat samudera yang membawa inti sarining air hidup
(Tirtha Amertha Kamandalu). Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci
terhadap Dewa-Dewa tersebut.
Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, untuk menyucikan Bhuwana Alit (alam manusia) dan Bhuwana Agung (alam semesta). Rangkaian perayaan Hari Raya Nyepi adalah sebagai berikut :
- Tawur (Pecaruan), Pengrupukan, dan Melasti.
Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "panglong ping 14 sasih kesanga" umat Hindu melaksanakan upacara Butha Yadnya di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salahg satu dari jenis-jenis "Caru" menurut kemampuannya. Bhuta Yadnya itu masing-masing bernama; Panca Sata (kecil), Panca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar).
Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisudha Bhuta Kala, dan segala 'leteh' (kotor), semoga sirna semuanya.
Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari; nasi manca warna (lima warna) berjumlah 9 tanding/paket, lauk pauknya ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Bhuta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Bhuta Raja, Bhuta Kala dan Bhatara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.
Setalah mecaru dilanjutkan dengan upacara pengerupukan, yaitu : menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesui, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar.
Khusus di Bali, pada pengrupukan ini biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Bhuta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Bhuta Kala dari lingkungan sekitar.
Selanjutnya dilakukan Melasti yaitu menghanyutkan segala leteh (kotor) ke laut, serta menyucikan "pretima". DIlakukan di laut, karena laut (segara) dianggap sebagai sumber Tirtha Amertha (Dewa Ruci, dan Pemuteran Mandaragiri). Selambat-lambatnya pada Tilem sore, pelelastian sudah selesai.
- Nyepi
Keesoka harinya, yaitu pada "panglong ping 15" (Tilem Kesanga), tibalah Hari Raya Nyepi. Pada hari ini dilakukan puasa/peberatan Nyepi yang disebut Catur Beratha Penyepian dan terdiri dari; amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Beratha ini dilakukan sejak sebelum matahari terbit.
Menurut umat Hindu, segala hal yang bersifat peralihan, selalu didahului dengan perlambang gelap. Misalnya seorang bayi yang akan beralih menjadi anak-anak (1 oton/6 bulan), lambang ini diwujudkan dengan 'matekep guwungan' (ditutup sangkat ayam). Wanita yang beralih dari masa kanak-kanak ke dewasa (Ngeraja Sewala), upacaranya didahului dengan ngekep (dipingit).
Demikianlah untuk masa baru, ditempuh secara baru lahir, yaitu benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam caka/tahun barupun, dasar ini dipergunakan, sehingga ada masa amati geni.
Yang lebih penting dari dari pada perlambang-perlambang lahir itu (amati geni), sesuai dengan Lontar Sundari Gama adalah memutihbersihkan hati sanubari, dan itu merupakan keharusan bagi umat Hindu.
Tiap orang berilmu (sang wruhing tatwa dnjana) melaksanakan; Bharata (pengekangan hawa nafsu), yoga ( menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadhi (menunggal kepada Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi), yang bertujuan kesucian lahir bathin).
Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu, sehingga akan mempunyai kesiapan bathin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan di tahun yang baru. Kebiasaan merayakan Hari Raya dengan berfoya-foya, berjudi, mabuk-mabukan adalah sesuatu kebiasaan yang keliru dan mesti dirubah.
- Ngembak Geni (Ngembak Api)
Terakhir dari perayaan Hari Raya Nyepi adalah hari Ngembak Geni yang jatuh pada tangal ping pisan (1) sasih kedasa (X). Pada hari Inilah tahun baru Caka tersebut dimulai. Umat Hindu bersilahturahmi dengan keluarga besar dan tetangga, saling maaf memaafkan (ksama), satu sama lain.
Dengan suasana baru, kehidupan baru akan dimulai dengan hati putih bersih. Jadi kalau tahun masehi berakhir tiap tanggal 31 Desember dan tahun barunya dimulai 1 Januari, maka tahun Caka berakhir pada panglong ping limolas (15) sasih kedasa (X), dan tahun barunya dimulai tanggal 1 sasih kedasa (X).
Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, untuk menyucikan Bhuwana Alit (alam manusia) dan Bhuwana Agung (alam semesta). Rangkaian perayaan Hari Raya Nyepi adalah sebagai berikut :
- Tawur (Pecaruan), Pengrupukan, dan Melasti.
Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "panglong ping 14 sasih kesanga" umat Hindu melaksanakan upacara Butha Yadnya di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salahg satu dari jenis-jenis "Caru" menurut kemampuannya. Bhuta Yadnya itu masing-masing bernama; Panca Sata (kecil), Panca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar).
Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisudha Bhuta Kala, dan segala 'leteh' (kotor), semoga sirna semuanya.
Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari; nasi manca warna (lima warna) berjumlah 9 tanding/paket, lauk pauknya ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Bhuta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Bhuta Raja, Bhuta Kala dan Bhatara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.
Setalah mecaru dilanjutkan dengan upacara pengerupukan, yaitu : menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesui, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar.
Khusus di Bali, pada pengrupukan ini biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Bhuta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Bhuta Kala dari lingkungan sekitar.
Selanjutnya dilakukan Melasti yaitu menghanyutkan segala leteh (kotor) ke laut, serta menyucikan "pretima". DIlakukan di laut, karena laut (segara) dianggap sebagai sumber Tirtha Amertha (Dewa Ruci, dan Pemuteran Mandaragiri). Selambat-lambatnya pada Tilem sore, pelelastian sudah selesai.
- Nyepi
Keesoka harinya, yaitu pada "panglong ping 15" (Tilem Kesanga), tibalah Hari Raya Nyepi. Pada hari ini dilakukan puasa/peberatan Nyepi yang disebut Catur Beratha Penyepian dan terdiri dari; amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Beratha ini dilakukan sejak sebelum matahari terbit.
Menurut umat Hindu, segala hal yang bersifat peralihan, selalu didahului dengan perlambang gelap. Misalnya seorang bayi yang akan beralih menjadi anak-anak (1 oton/6 bulan), lambang ini diwujudkan dengan 'matekep guwungan' (ditutup sangkat ayam). Wanita yang beralih dari masa kanak-kanak ke dewasa (Ngeraja Sewala), upacaranya didahului dengan ngekep (dipingit).
Demikianlah untuk masa baru, ditempuh secara baru lahir, yaitu benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam caka/tahun barupun, dasar ini dipergunakan, sehingga ada masa amati geni.
Yang lebih penting dari dari pada perlambang-perlambang lahir itu (amati geni), sesuai dengan Lontar Sundari Gama adalah memutihbersihkan hati sanubari, dan itu merupakan keharusan bagi umat Hindu.
Tiap orang berilmu (sang wruhing tatwa dnjana) melaksanakan; Bharata (pengekangan hawa nafsu), yoga ( menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadhi (menunggal kepada Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi), yang bertujuan kesucian lahir bathin).
Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu, sehingga akan mempunyai kesiapan bathin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan di tahun yang baru. Kebiasaan merayakan Hari Raya dengan berfoya-foya, berjudi, mabuk-mabukan adalah sesuatu kebiasaan yang keliru dan mesti dirubah.
- Ngembak Geni (Ngembak Api)
Terakhir dari perayaan Hari Raya Nyepi adalah hari Ngembak Geni yang jatuh pada tangal ping pisan (1) sasih kedasa (X). Pada hari Inilah tahun baru Caka tersebut dimulai. Umat Hindu bersilahturahmi dengan keluarga besar dan tetangga, saling maaf memaafkan (ksama), satu sama lain.
Dengan suasana baru, kehidupan baru akan dimulai dengan hati putih bersih. Jadi kalau tahun masehi berakhir tiap tanggal 31 Desember dan tahun barunya dimulai 1 Januari, maka tahun Caka berakhir pada panglong ping limolas (15) sasih kedasa (X), dan tahun barunya dimulai tanggal 1 sasih kedasa (X).
B.UPACARA ADAT
1.Ngaben
Ngaben adalah upacara pembakaran jenazah atau kremasi umat Hindu di Bali, Indonesia. Acara Ngaben merupakan suatu ritual yang dilaksanakan guna mengirim jenasah kepada kehidupan mendatang. Jenasah diletakkan selayaknya sedang tidur, dan keluarga yang ditinggalkan akan senantiasa beranggapan demikian (tertidur). Tidak ada airmata, karena jenasah secara sementara waktu tidak ada dan akan menjalani reinkarnasa atau menemukan pengistirahatan terakhir di Moksha (bebas dari roda kematian dan reinkarnasi).
Hari yang sesuai untuk acara ini selalu didiskusikan dengan orang yang paham. Pada hari ini, tubuh jenasah diletakkan di dalam peti-mati. Peti-mati ini diletakkan di dalam sarcophagus yang menyerupai Lembu atau dalam Wadah berbentuk vihara yang terbuat dari kayu dan kertas. Bentuk lembu atau vihara dibawa ke tempat kremasi melalui suatu prosesi. Prosesi ini tidak berjalan pada satu jalan lurus. Hal ini guna mengacaukan roh jahat dan menjauhkannya dari jenasah.
Puncak acara Ngaben adalah pembakaran keluruhan struktur (Lembu atau vihara yang terbuat dari kayu dan kertas), berserta dengan jenasah. Api dibutuhkan untuk membebaskan roh dari tubuh dan memudahkan reinkarnasi.
Ngaben tidak senantiasa dilakukan dengan segaera. Untuk anggota kasta yang tinggi, sangatlah wajar untuk melakukan ritual ini dalam waktu 3 hari. Tetapi untuk anggota kasta yang rendah, jenasah terlebih dahulu dikuburkan dan kemudian, biasanya dalam acara kelompok untuk suatu kampung, dikremasikan.
Ngaben adalah suatu upacara pembakaran mayat yang dilakukan umat Hindu di Bali, upacara ini dilakukan untuk menyucian roh leluhur orang sudah wafat menuju ketempat peristirahatan terakhir dengan cara melakukan pembakaran jenazah.
Dalam diri manusia mempunyai beberapa unsur, dan semua ini digerakan oleh nyawa/roh yang diberikan Sang Pencipta. Saat manusia meninggal, yang ditinggalkan hanya jasad kasarnya saja, sedangkan roh masih ada dan terus kekal sampai akhir jaman. Di saat itu upacara Ngaben ini terjadi sebagai proses penyucian roh saat meninggalkan badan kasar.
Kata Ngaben sendiri mempunyai pengertian bekal atau abu yang semua tujuannya mengarah tentang adanya pelepasan terakhir kehidupan manusia. Dalam ajaran Hindu Dewa Brahma mempunyai beberapa ujud selain sebagai Dewa Pencipta Dewa Brahma dipercaya juga mempunyai ujud sebagai Dewa Api. Jadi upacara Ngaben sendiri adalah proses penyucian roh dengan cara dibakar menggunakan api agar bisa dapat kembali ke sang pencipta, api penjelmaan dari Dewa Brahma bisa membakar semua kekotoran yang melekat pada jasad dan roh orang yang telah meningggal.
Upacara Ngaben ini dianggap sangat penting bagi umat Hindu di Bali, karena upacara Ngaben merupakan perujudan dari rasa hormat dan sayang dari orang yang ditinggalkan, juga menyangkut status sosial dari keluarga dan orang yang meninggal. Dengan Ngaben, keluarga yang ditinggalkan dapat membebaskan roh/arwah dari perbuatan perbuatan yang pernah dilakukan dunia dan menghantarkannya menuju surga abadi dan kembali berenkarnasi lagi dalam wujud yang berbeda.
Ngaben dilakukan dengan beberapa rangkaian upacara, terdiri dari berbagai rupa sesajen dengan tidak lupa dibubuhi simbol-simbol layaknya ritual lain yang sering dilakukan umat Hindu di Bali. Upacara Ngaben biasa nya dilalukan secara besar besaran, ini semua memerlukan waktu yang lama, tenaga yang banyak dan juga biaya yang tidak sedikit dan bisa mengakibatkan Ngaben sering dilakukan dalam waktu yang lama setelah kematian.
Pada masa sekarang ini masyarakat Hindu di Bali sering melakukan Ngaben secara massal / bersama, untuk meghemat biaya yang ada, dimana Jasad orang yang meninggal untuk sementara dikebumikan terlebih dahulu sampai biaya mencukupi baru di laksanakan, namun bagi orang dan keluarga yang mampu upacara ngaben dapat dilakukan secepatnya, untuk sementara waktu jasad disemayamkan di rumah, sambil menunggu waktu yang baik. Ada anggapan kurang baik bila penyimpanan jasad terlalu lama di rumah, karena roh orang yang meninggal tersebut menjadi bingung dan tidak tenang, dia merasa berada hidup diantara 2 alam dan selalu ingin cepat dibebaskan.
Pelaksanaan Ngaben itu sendiri harus terlebih dahulu berkonsultasi dengan pendeta untuk menetapkankan kapan hari baik untuk dilakukannya upacara. Sambil menunggu hari baik yang akan ditetapkan, biasanya pihak keluarga dan dibantu masyarakat beramai ramai melakukan Persiapan tempat mayat ( bade/keranda ) dan replica berbentuk lembu yang terbuat dari bambu, kayu, kertas warna-warni, yang nantinya untuk tempat pembakaran mayat tersebut.
Dipagi harinyasaatupacara ini dilaksanakan, seluruh keluargadanmasyarakat akan berkumpul mempersiapkan upacara. Sebelum upacara dilaksanakan Jasad terlebih dahulu dibersihkan/dimandikan, Proses pelaksaaan pemandian di pimpin oleh seorang Pendeta atau orang dari golongan kasta Bramana.
Setelah proses pemandian selesai , mayat dirias dengan mengenakan pakaian baju adat Bali, lalu semua anggota keluarga berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir dan diiringi doa semoga arwah yang diupacarai memperoleh kedamaian dan berada di tempat yang lebih baik.
Mayat yang sudah dimandikan dan mengenakan pakaian tersebut diletakan di dalam“Bade/keranda” lalu di usung secara beramai-ramai, seluruh anggota keluarga dan masyarakat berbarisdidepan “Bade/keranda”. Selama dalam perjalanan menuju tempat upacara Ngabentersebut, bila terdapat persimpangan atau pertigaan, Bade/keranda akan diputar putar sebanyak tiga kali, ini dipercaya agar si arwah bingung dan tidak kembali lagi ,dalam pelepasan jenazah tidak ada isak tangis, tidak baik untuk jenazah tersebut, seakan tidak rela atas kepergiannya.Arak arakan yang menghantar kepergian jenazah diiringi bunyi gamelan,kidung suci.Pada sisi depan dan belakang Bade/keranda yang di usung terdapat kain putih yang mempunyai makna sebagai jembatan penghubung bagi sang arwah untuk dapat sampai ketempat asalnya.
Setelah sampai dilokasi kuburan atau tempat pembakaran yang sudah disiapkan, mayat di masukan/diletakan diatas/didalam “Replica berbentuk Lembu“ yang sudah disiapkan dengan terlebih dahulu pendeta atau seorang dari kasta Brahmana membacakan mantra dan doa, lalu upacara Ngaben dilaksanakan, kemudian “Lembu” dibakar sampai menjadi abu. Sisa abu dari pembakaran mayat tersebut dimasukan kedalam buah kelapa gading lalu kemudian di larungkan/dihayutkan ke laut atau sungai yang dianggap suci.
Dari pemamaparan diatas dapat disimpulkan bahwa Ngaben adalah upacara pembakaran mayat di Bali yang saat disakralkan dan diagungkan, upacara ini adalah ungkapan rasa hormat yang ditujukan untuk orang yang sudah meninggal. Upacara ini selalu dilakukan secara besar besar dan meriah, tidak semua umat Hindu di Bali dapat melaksanakannya karena memerlukan biaya yang tidak sedikit. Semua yang berasal dari sang pencipta pada masanya akan kembali lagi dan semua itu harus diyakini dan ihklaskan. Manusia di lahirkan dan kemudian meninggal itu semua erat berhubungan dengan amal perbuatannya selama di dunia.
2.Upacara potong gigi
Sumber sastra mengenai upacara potong gigi adalah lontar Kala Pati,kala tattwa,Semaradhana,dan sang Hyang Yama.dalam lontar kala Pati disebutkan bahwa potong gigi sebagai tanda perubahan status seseorang menjadi manusia sejati yaitu manusia yang berbudi dan suci sehingga kelak di kemudian hari bila meniggal dunia sang roh dapat bertemu dengan para leluhur di sorga Loka.Lontar Kala tattwa menyebutkan bahwa Bathara Kala sebagai putra Dewa Siwa dengan Dewi Uma tidak bisa bertemu dengan ayahnya di sorga sebelum taringnya dipotong.Oleh karena itu, manusia hendaknya menuruti jejak Bathara kala agar rohnya dapat bertemu dengan roh leluhur di sorga.dalam lontar Semaradhana disebutkan bahwa Bethara Gana sebagai putra Dewa Siwa yang lain dapat mengalahkan raksasa NIlarudraka yang menyerang sorgaloka dengan menggunakan potongan taringnya.
Selain itu disebutkan bahwa Bethara Gana lahir dari Dewi Uma setelah Dewa Siwa dibangunkan Dari tapa semadhinya oleh Dewa Semara (Asmara) namun kemudian Dewa Siwa menghukum Dewa Semara bersama istrinya, Dewi Ratih,dengan membakarnya sampai menjadi abu.kemudian menyebarkan abu tersebut ke dunia dan mengutuk manusia agar tidak bisa hidup tanpa brepasangan (laki-perempuan) dalam suami istri.Dalam lontar Sang Hyang yama disebutkan bahwa upacara potong gigi boleh dilaksanakan bila naka sudah menginjak dewasa, ditandai dengan menstruasi untuk wanita dan suara yang membesar untuk pria.Biasanya hal ini muncul di kala usia 14 tahun.
-Tujuan Upacara Potong Gigi
Tujuan upacara potong gigi dapat disimak lebih lanjut dari lontarkalapati dimana disebutkan bahwa gigi yang digosok atau diratakan dari gerigi adalah enam buah yaitu dua taringdan empat gigi seri di atas.Pemotongan enam gigi itu melambangkan symbol pengendalian terhadap sad Ripu (enam musuh dalam diri manusia).Meliputi kama (hawa nafsu),Loba (rakus),Krodha (marah),mada (mabuk),moha (bingung),dan Matsarya (iri hati).Sad Ripu yang tidak terkendalikan ini akan membahayakan kehidupan manusia,maka kewajiban setiap orang tua untuk menasehati anak-anaknya serta memohon kepada Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari pengaruh sad ripu.Makna yang tersirat dari mitologi Kala Pati,kala Tattwa,dan Semaradhana ini adalah mengupayakan kehidupan manusia yang selalu waspada agar tidak tersesat dari ajaran agama (dharma) sehingga di kemudian hari rohnya dapat yang suci dapat mencapai surge loka bersama roh suci para leluhur, bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi).Dalam pergaulan muda-mudi pun diatur agar tidak melewati batas kesusilaan seperti yang tersirat dari lontar Semaradhana.
Upacara potong gigi biasanya disatukan dengan upacara Ngeraja Sewala atau disebutkan pula sebagai upacara “menek kelih”, yaitu upacara syukuran karena si anak sudah menginjak dewasa,meninggalkan masa anak-anak menuju ke masa dewasa.
Urutan Upacara :
1. Setelah sulinggih ngarga tirta,mereresik dan mapiuning di Sangah Surya,maka mereka yang akan mepandes dilukat dengan padudusan madya,setelah itu mereka memuja Hyang raitya untuk memohon keselamatan dalam melaksanakan upacara.
2. Potong rambut dan merajah dilaksanakan dengan tujuan mensucikan diri serta menandai adanya peningkatan status sebagai manusia yaitu meningalkan masa anak-anak ke masa remaja.
3. Naik ke bale tempat mepandes dengan terlebih dahulu menginjak caru sebagai lambing keharmonisan,mengetukkan linggis tiga kali (Ang,Ung,Mang) sebagai symbol mohon kekuatan kepada Hyang Widhi dan ketiak kiri menjepit caket sebagai symbol kebulatan tekad untuk mewaspadai sad ripu.
4. Selama mepandes,air kumur dibuang di sebuah nyuh gading afar tidak menimbulkan keletehan.
5. Dilanjutkan dengan mebiakala sebagai sarana penyucian serta menghilangkan mala untuk menyongsong kehidupan masa remaja.
6. Mapedamel berasal dari kata “dama” yang artinya bijaksana.Tujuan mapedamel setelah potong gigi adalah agar si anak dalam kehidupan masa remaja dan seterusnya menjadi orang yang bijaksana,yaitu tahap menghadapi suka duka kehidupan,selalu berpegang pada ajaran agama Hindu,mempunyai pandangan luas,dan dapat menentukan sikap yang baik, karena dapat memahami apa yang disebut dharma dan apa yang disebut adharma.Secara simbolis ketika mepadamel,dilakukan sebagai berikut :
• Mengenakan kain putih,kampuh kuning,dan selempang samara ratih sebagai symbol restu dari Dewa Semara dan Dewi Ratih (berdasarkan lontar Semaradhana tersebut).
• Memakai benang pawitra berwarna tridatu (merah,putih,hitam) sebagai symbol pengikatan diri terhadap norma-norma agama.
• Mencicipi Sad rasa yaitu enam rasa berupa rasa pahit dan asam sebagai simbol agar tabah menghadapi peristiwa jehidupan yang kadang-kadang tidak menyenangkan,rasa pedas sebagai simbol agar tidak menjadi marah bila mengalamai atau mendengar hal yang menjengkelkan,rasa sepat sebagai symbol agar taat ada peraturan atau norma-norma yang berlaku,rasa asin sebagai simbol kebijaksanaan,selalu meningkatkan kualitas pengetahuan karena pembelajaran diri,dan rasa manis sebagai symbol kehidupan yang bahagia lahir bathin sesuai cita-cita akan diperoleh bilamana mampu menhadapi pahit getirnya kehidupan,berpandangan luas,disiplin,serta enantiasa waspada dengan adanya sad ripu dalam diri manusia.
7. Natab banten,tujuannya memohon anugerah Hyang Widhi agar apa yang menjadi tujuan melaksanakan upacara dapat tercapai.
8. Metapak,mengandung makna tanda bahwa kewajiban orang tua terhadap anaknya dimulai sejak berada dalam kandungan ibu sampai menajdi dewasa secara spiritual sudah selesai,makna lainnya adalah ucapan terima kasih si anak kepada orang tuanya karena telah memelihara dengan baik,serta memohon maaf atas kesalahan-kesalahan anak terhadap orang tua,juga mohon doa restu agar selamat dalam menempuh kehidupan di masa datang.
3.Upacara adat untuk peruwatan bayi
Ada beberapa upacara adat bali yang diperuntukkan
untuk bayi adat Bali. Semua upacara adat Bali yang dilakukan
pada manusia termasuk dalam Manusa Yadnya. Upacara adat Bali umumnya dikaitkan
dengan upacara agama Hindu yang merupakan agama mayoritas di Bali. Oleh sebab
itu, upacara adat sekaligus menjadi upacara memuja Tuhan, bersifat suci dan
sakral. Salah satunya adalah upacara Megedong-Gedongan yang dilakukan saat bayi
masih dalam kandungan usia 7 bulan. Upacara adat Bali ini biasanya dilakukan
pada saat bulan purnama. Erat dengan agama Hindu, upacara ini dilakukan dengan
tujuan yang suci dan berdoa untuk kebaikan sang bayi. Pada upacara
Megedong-Gedongan ini, calon ayah dan ibu akan diberikan nasihat untuk
kelancaran kehamilan hingga melahirkan.
Upacara Tutug Kambuhan juga merupakan upacara
untuk sang bayi adat Bali. Upacara ini dilakukan setelah bayi
berusia 42 hari sehingga sering disebut upacara 42 hari. Tutug Kambuhan
dilakukan masing-masing di setiap rumah bayi dan tidak dilakukan secara masal.
Tutug Kambuhan bertujuan untuk mengucapkan syukur kepada Tuhan atas
kelahirannya. Upacara ini sekaligus juga bertujuan untuk menyucikan sang bayi
dan ibunya dari segala kotoran dan noda sehingga kemudian sang ibu boleh
memasuki tempat-tempat yang suci.
Bayi adat Bali yang berusia 3 bulan juga
dianjurkan untuk melakukan upacara Nyambutin. Sesuai namanya, upacara ini
memang untuk menyambut kedatangan sang bayi ke dunia. Upacara Nyambutin juga
bertujuan untuk meminta kepada Tuhan agar sang bayi diberkati dan diijinkan
menginjak bumi. Pada upacara ini, diberikanlah nama nama bayi.
Penegasan nama nama bayi sekaligus merupakan bentuk sambutan kepada sang bayi
yang telah menjadi manusia sempurna.
Upacara adat Bali lainnya adalah upacara Otonan.
Upacara ini dilakukan ketika bayi telah berusia 210 hari. Tujuannya adalah
untuk menebus atau menghilangkan segala kesalahan yang mungkin dibawa oleh bayi
pada hidupnya terdahulu. Selain itu, juga memohon kepada Tuhan agar memberikan
keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan kepada sang bayi. Pada upacara Otonan
ini, bayi adat Bali untuk pertama kalinya akan menginjakkan kaki ke tanah.
4.Upacara adat pernikahan
Pernikahan
adat bali sangat
diwarnai dengan pengagungan kepada Tuhan sang pencipta, semua tahapan
pernikahan dilakukan di rumah mempelai pria, karena masyarakat Bali memberlakukan
sistem patriarki, sehingga dalam pelaksanan upacara perkawinan semua biaya yang
dikeluarkan untuk hajatan tersebut menjadi tanggung jawab pihak keluarga laki –
laki. hal ini berbeda dengan adat
pernikahan jawa yang semua proses pernikahannya dilakukan di rumah
mempelai wanita. Pengantin wanita akan diantarkan kembali pulang ke rumahnya
untuk meminta izin kepada orang tua agar bisa tinggal bersama suami beberapa
hari setelah upacara pernikahan.
- Upacara Ngekeb
Acara ini
bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin wanita dari kehidupan remaja
menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga memohon doa restu kepada Tuhan Yang
Maha Esa agar bersedia menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta
nantinya mereka diberikan anugerah berupa keturunan yang baik.
Setelah itu
pada sore harinya, seluruh tubuh calon pengantin wanita diberi luluran yang
terbuat dari daun merak, kunyit, bunga kenanga, dan beras yang telah
dihaluskan. Dipekarangan rumah juga disediakan wadah berisi air bunga untuk
keperluan mandi calon pengantin. Selain itu air merang pun tersedia untuk
keramas.
Sesudah
acara mandi dan keramas selesai, pernikahan adat bali akan dilanjutkan
dengan upacara di dalam kamar pengantin. Sebelumnya dalam kamar itu telah
disediakan sesajen. Setelah masuk dalam kamar biasanya calon pengantin wanita
tidak diperbolehkan lagi keluar dari kamar sampai calon suaminya datang
menjemput. Pada saat acara penjemputan dilakukan, pengantin wanita seluruh
tubuhnya mulai dari ujung kaki sampai kepalanya akan ditutupi dengan selembar
kain kuning tipis. Hal ini sebagai perlambang bahwa pengantin wanita
telah bersedia mengubur masa lalunya sebagai remaja dan kini telah siap
menjalani kehidupan baru bersama pasangan hidupnya.
- Mungkah Lawang ( Buka Pintu )
Seorang
utusan Mungkah Lawang bertugas mengetuk pintu kamar tempat pengantin wanita
berada sebanyak tiga kali sambil diiringi oleh seorang Malat yang
menyanyikan tembang Bali. Isi tembang tersebut adalah pesan yang
mengatakan jika pengantin pria telah datang menjemput pengantin wanita dan
memohon agar segera dibukakan pintu.
- Upacara Mesegehagung
Sesampainya
kedua pengantin di pekarangan rumah pengantin pria, keduanya turun dari tandu
untuk bersiap melakukan upacara Mesegehagung yang tak lain bermakna
sebagai ungkapan selamat datang kepada pengantin wanita. kemudian keduanya
ditandu lagi menuju kamar pengantin. Ibu dari pengantin pria akan memasuki
kamar tersebut dan mengatakan kepada pengantin wanita bahwa kain kuning yang
menutupi tubuhnya akan segera dibuka untuk ditukarkan dengan uang kepeng
satakan yang ditusuk dengan tali benang Bali dan biasanya berjumlah dua
ratus kepeng
- Madengen–dengen
Upacara ini
bertujuan untuk membersihkan diri atau mensucikan kedua pengantin dari energi
negatif dalam diri keduanya. Upacara dipimpin oleh seorang pemangku adat atau
Balian
- Mewidhi Widana
Dengan
memakai baju kebesaran pengantin, mereka melaksanakan upacara Mewidhi Widana
yang dipimpin oleh seorang Sulingguh atau Ida Peranda. Acara ini merupakan
penyempurnaan pernikahan adat bali untuk meningkatkan pembersihan
diri pengantin yang telah dilakukan pada acara – acara sebelumnya.
Selanjutnya, keduanya menuju merajan yaitu tempat pemujaan untuk berdoa
mohon izin dan restu Yang Kuasa. Acara ini dipimpin oleh seorang pemangku
merajan
- Mejauman Ngabe Tipat Bantal
Beberapa
hari setelah pengantin resmi menjadi pasangan suami istri, maka pada
hari yang telah disepakati kedua belah keluarga akan ikut mengantarkan kedua
pengantin pulang ke rumah orang tua pengantin wanita untuk melakukan upacara
Mejamuan. Acara ini dilakukan untuk memohon pamit kepada kedua orang tua
serta sanak keluarga pengantin wanita, terutama kepada para leluhur, bahwa
mulai saat itu pengantin wanita telah sah menjadi bagian dalam keluarga besar
suaminya. Untuk upacara pamitan ini keluarga pengantin pria akan membawa
sejumlah barang bawaan yang berisi berbagai panganan kue khas Bali
seperti kue bantal, apem, alem, cerorot, kuskus, nagasari, kekupa, beras, gula,
kopi, the, sirih pinang, bermacam buah–buahan serta lauk pauk khas bali.
b.Alat-alat untuk pernikahan adat bali
Peralatan
Upacara Mekala-kalaan
1. Sanggah Surya
Di sebelah kanan digantungkan biyu lalung dan di
sebelah kiri sanggah digantungkan sebuah kulkul berisi berem. Sanggah Surya
merupakan niyasa(simbol) stana Sang Hyang Widhi Wasa, dalam hal ini merupakan
stananya Dewa Sang dan Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih.
Biyu lalung adalah symbol kekuatan purusa dari Sang
Hyang Widhi dan Sang Hyang Purusa ini bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara
Jaya, sebagai dewa kebajikan. Ketampanan, kebijaksanaan symbol pengantin pria.
Kulkul berisi berem symbol kekuatan prakertinya Sang
Hyang Widhi dan bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Ratih, dewa kecantikan
serta kebijaksanaan symbol pengantin wanita.
2. Kelabang Kala Nareswari (Kala Badeg)
Simbol calon pengantin, yang diletakkan sebagai alas
upacara mekala-kalaan serta diduduki oleh calon pengantin.
3. Tikeh Dadakan (tikar kecil)
Tikeh dadakan diduduki oleh pengantin wanita sebagai
symbol selaput dara(hymen) dari wanita. Kalau dipandang dari sudut spiritual,
tikeh dadakan adalah sebagai symbol kekuatan Sang Hyang Prakerti (kekuatan
yoni).
4. Keris
Keris sebagai kekuatan Sang Hyang Purusa (kekuatan
lingga) calon pengantin pria. Biasanya nyungklit keris, dipandang dari sisi
spiritualnya sebagai lambing kepurusan dari pengantin pria.
5. Benang Putih
Dalam mekala-kalaan dibuatkan benang putih sepanjang
setengah meter, terdiri dari 12 bilahan benang menjadi satu, serta pada kedua
ujung benang masing-masing dikaitkan pada cabang pohon dapdap setinggi 30 cm.
Angka 12 berarti symbol dari sebel 12 hari, yang
diambil dari cerita dihukumnya Pandawa oleh Kurawa selama 12 tahun. Dengan
upacara mekala-kalaan otomatis sebel pengantin yang disebut sebel kandalan
menjadi sirna dengan upacara penyucian tersebut.
Dari segi spiritual benang ini sebagai symbol dari
lapisan kehidupan, berarti sang pengantin telah siap untuk meningkatkan alam
kehidupannya dari Brahmacari Asrama menuju alam Grhasta Asrama.
6. Tegen – tegenan
Makna tegen-tegenan merupakan symbol dari pengambil
alihan tanggung jawab sekala dan niskala.
Perangkat tegen-tegenan :
Batang tebu berarti hidup pengantin
artinya bisa hidup bertahap seperti hal tebu ruas demi ruas, secara manis
Cangkul sebagai symbol Ardha Candra.
Cangkul sebagai alat bekerja, berkarma berdasarkan Dharma
Periuk symbol windhu
Buah kelapa symbol Brahman (Sang
Hyang Widhi)
Seekor yuyu symbol bahasa isyarat
memohon keturunan dan kerahayuan.
7. Suwun-suwunan (sarana jinjingan)
Berupa bakul yang dijinjing mempelai wanita, yang
berisi talas, kunir, beras dan bumbu-bumbuan melambangkan tugas wanita atau
istri mengambangkan benih yang diberikan suami, diharapkan seperti pohon kunir
dan talas berasal drai bibit yang kecil berkembang menjadi besar.
8. Dagang – dagangan
Melambangkan kesepakatan dari suami istri untuk
membangun rumah tangga dan siap menanggung segala Resiko yang timbul akibat
perkawinan tersebut seperti kesepakatan antar penjual dan pembeli dalam
transaksi dagang.
9. Sapu lidi (3 lebih)
Simbol kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir
telor bebek, kemudian dicakup kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna
tiga (tri datu). Serabut kelapa berbelah tiga symbol dari Triguna (satwam,
rajas, tamas). Benang tridatu symbol dari Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa)
mengisyaratkan kesucian.
Telor bebek symbol manik. Mempelai saling tending
serabut kelapa (metanjung sambuk) sebanyak tiga kali, setelah itu secara
simbolis diduduki oleh pengantin wanita. Apabila mengalami perselisihan agar
bisa saling mengalah, serta secara cepat di masing-masing individu menyadari
langsung. Selalu ingat dengan penyucian diri, agar kekuatan triguna dapat
terkendali. Selesai upacara serabut kelapa ini diletakkan di bawah tempat tidur
mempelai.
10. Tetimpug
Bambu tiga batang yang dibakar dengan api dayuh yang
bertujuan memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma.
2.KESENIAN TRADISIONAL BALI
A.Seni Tari dan Seni Drama
Drama dan tari tidak dapat dipisahkan. Keduanya
seperti dua warna permukaan daun sirih, sama-sama mengandung rasa dan aroma
yang tidak berbeda. Budaya Bali memiliki banyak sekali ragam kesenian Drama dan
Tari. Ini menunjukkan bahwa budaya kita sangat beradab. Drama dan tari penuh
dengan simbol-simbol. Baik simbol dari kehidupan nyata maupun simbol kehidupan
alam lain dan mimpi-mimpi. Hanya peradaban manusia yang mengerti arti simbol. Simbolisme
yang digambarkan oleh para seniman drama dan tari di Bali sangat komunikatif.
Tidak hanya menghibur hati, tetapi dapat memberikan pedoman yang mudah dicerna
tentang benar dan salah, tentang baik dan buruk. Drama dan tari tidak hanya
menghubungkan nalar dan rasa antar manusia, tetapi juga menghubungkan alam
sekala dan niskala manusia secara harmonis dan estetis. Mengalir terus dipenuhi
dengan inovasi baru yang tak pernah terbendung. Macam-macam drama dan tari :
Abuang, Drama klasik, Kontemporer, Sanghyang, Arja, Gambuh, Legong, Topeng,
Baris, Gebug Ende, Makare-karean, Wayang Kulit, Barong, Janger, Mresi, Wayang
Wong, Calonarang dan masih banyak lagi yang lainnya.
Tari bali merupakan bagian organik dari masyarakat pendukungnya dan
perwatakan dari masyarakatnya tercermin dalam tari. (I Made Bandem, 1983).
Menurut struktur masyarakatnya, seni tari bali dapat dibagi menjadi 3 (Tiga)
periode yaitu:
1. Periode Masyarakat Primitif
(Pra-Hindu) (20.000 S.M-400 M)
2. Periode Masyarakat Feodal (400
M-1945)
3. Periode Masyarakat modern (sejak
tahun 1945)
Pada zaman Pra-Hindu kehidupan orang-orang di Bali dipengaruhi oleh keadaan alam sekitarnya. Ritme alam mempengaruhi ritme kehidupan mereka. Tari-tarian meraka menirukan gerak-gerak alam sekitarnya seperti alunan ombak, pohon ditiup angin, gerak-gerak binatang dan lain sebagainya. Bentuk-bentuk gerak semacam ini sampai sekarang masih terpelihara dalam Tari Bali. Dalam zaman ini orang tidak saja bergantung kepada alam, tetapi mereka juga mengabdikan kehidupannya kepada kehidupan sepiritual. Kepercayaan mereka kepada Animisme dan Totemisme menyebabkan tari-tarian mereka bersifat penuh pengabdian, berunsurkan Trance (kerawuhan), dalam penyajian dan berfungsi sebagai penolak bala. Salah satu dari beberapa bentuk tari bali yang bersumber pada kebudayaan Pra-Hindu ialah sang hyang.
Pada masyarakat feodal perkembangan
Tari Bali ditandai oleh elemen kebudayaan hindu. Pengaruh hindu dibali berjalan
sangat pelan-pelan. Dimulai pada abad VII yaitu pada pemerintahan raja ugra
sena di Bali. Pada abad X terjadi perkawinan antara raja udayana dengan
mahendradatta, ratu dari jawa timur yang dari perkawianan tersebut lahir raja
airlangga yang kemudian menjadi raja di jawa timur. Sejak itu terjadi hubungan
yang sangat erat antara jawa dan bali. Kebudayaan bali yang berdasarkan atas
penyembahan leluhur ( animisme dan totemisme) bercampur dengan Hinduisme dan
budhisme yang akhirnya menjadi kebudayaan hindu seperti yang kita lihat
sekarang catatan tertua yang menyebutkan tentang berjenis-jenis seni tari
ditemui di jawa tengah yaitu batu bertulis jaha yang berangka tahun 840 Masehi.
Pada zaman Feodal tari berkembang di istana, berkembang juga dalam masyarakat.
Hal ini disebabkan oleh kepentingan agama yang tidak pernah absen dari tari dan
musik.Didalam masyarakat modern yang dimulai sejak kemerdekaan Republik
Indonesia pada tahun 1945, patromisasi dari kerajaan-kerajaan di zaman Feodal
mulai berkurang. Pada masa ini banyak diciptakan kreasi-kreasi baru, walaupun
kreasi baru itu masih berlandaskan kepada nilai tradisional; yaitu hanya
perobahan komposisi dan interpretasi lagu kedalam gerak.
Berikut contoh tarian bali
A.Tari Sekar Jagat, sangat lasim
digunakan dalam pembukaan suatu acara, tarian ini diciptakan oleh Bapak Swasthi
Widjaya Bandem dan gambelan (music traditional bali ) oleh Bapak I Nyoman
Windha pada tahun 1993.
b. TARI BARONG
Barong adalah karakter dalam mitologi
Bali. Ia adalah raja dari roh-roh serta melambangkan kebaikan. Ia merupakan
musuh Rangda dalam mitologi Bali. Banas Pati Rajah adalah roh yang mendampingi
seorang anak dalam hidupnya. Banas Pati Rajah dipercayai sebagai roh yang
menggerakkan Barong. Sebagai roh pelindung, Barong sering ditampilkan sebagai
seekor singa. Tarian tradisional di Bali yang menggambarkan pertempuran antara
Barong dan Rangda sangatlah terkenal dan sering diperlihatkan sebagai atraksi
wisata.
Barong singa adalah salah satu dari lima bentuk Barong. Di
pulau Bali setiap bagian pulau Bali mempunyai roh pelindung untuk tanah dan
hutannya masing-masing. Setiap Barong dari yang mewakili daerah tertentu
digambarkan sebagai hewan yang berbeda. Ada babi hutan, harimau, ular atau
naga, dan singa. Bentuk Barong sebagai singa sangatlah populer dan berasal dari
Gianyar. Di sini terletak Ubud, yang merupakan tempat pariwisata yang terkenal.
Dalam Calonarong atau tari-tarian Bali, Barong menggunakan ilmu gaibnya untuk
mengalahkan Rangda.
C.Tari joged bumbu
Tari joged
bumbung adalah tarian warisan leluhur sejak dulu, tari ini adalah tari
pergaulan untuk menambah keakraban, para penonton yang sedang menyaksikan
tarian ini bisa turut serta menari diatas panggung. Sehingga membuat suasana
semakin semarak.
Tari Bali terdiri dari 3 kategori yaitu :
- Tari Sakral - yang di pentaskan setiap upacara keagamaan.
- Tari Bebali
- Tari Balih - Balihan yang
dipentaskan dalam acara hiburan untuk menghibur para halayak. Tari Balih
Balihan, atau tarian yang dipentaskan dalam acara hiburan.
Contohnya tari Oleg Tamulilingan, tarian yang mengisahkan tentang sepasang remaja yang sedang memadu kasih dengan penuh kelembutan.
Tarian lain seperti :Tari Sekar Jagat, Tari Panyembrama, Tari Puspanjali. Tari tarian ini yang biasanya di pentaskan sebagai tarian pembukaan dari sebuah acara, baik acara yang sifatnya formil atau non formil, contohnya : dalam pembukaan acara Gala Dinner, atau pembukaan Seminar, Meeting, dll.
b.Seni
lukis
Gambar bertuturSeni lukis klasik Bali yang juga disebut seni gambar bertutur itu merupakan hasil sentuhan seniman, diharapkan mampu memotivasi seniman Bali dalam memacu dan meningkatkan prestasi seni lukis.
Puluhan lukisan klasik Bali dalam ukuran satu kali satu meter hingga 2,5 meter kali 2,5 meter ditata sedemikian rupa di ruang pameran Museum Seni Lukis Klasik Bali di Kota Semarapura, Kabupaten Klungkung, 45 km timur Denpasar.
Wamen Bidang Kebudayaan Kemdikbud Wiendu Nuryanti ketika membuka kegiatan Internasional Festival Bali Bangun tersebut menilai, seni lukis klasik Bali mendapat apresiasi positif dari masyarakat internasional.
Keunggulan dan kelebihan pada seni lukis klasik Bali berperan penting terhadap kemajuan ilmu pengetahuan yang diharapkan berkembang dan lestari dalam kehidupan masyarakat pendukungnya.
Festival yang menyuguhkan lukisan seni klasik Bali yang selama ini menjadi koleksi tujuh museum mancanegara bertujuan untuk memuliakan kebudayaan klasik Bali, sekaligus dapat dinikmati dan dipelajari generasi penerus bangsa Indonesia.
Seni lukis klasik Bali mendapat perhatian masyarakat dunia, bukan sekedar untuk diapresiasi, namun juga mempelajari kajian filosofisnya, sehingga memiliki sisi edukasi bermanfaat bagi masyarakat Indonesia.
Seni lukis Bali memiliki sejarah panjang mulai dari abad ke-15 dan mengalami puncak keemasan pada masa itu, sehingga bisa dikatakan sebagai puncak kebudayaan Bali. Seni lukis klasik Bali berkembang di daerah Kamasan, Kabupaten Klungkung, hingga saat ini tokoh-tokoh seni lukis klasik masih hidup dan berkembang lengkap dengan sanggar dan bengkel kerjanya.
Mereka terhimpun dalam sanggar Banjar Geria, Banjar Sangging, Siku, Kacang Dawa, Pande Mas, Banjar Peken Kabupaten Klungkung dan sanggar Banjar di Kabupaten Tabanan.
Lewat kegiatan Festival Bali Bangun diharapkan mampu mengangkat harkat dan daya tawar karya seniman di tingkat lokal, nasional dan internasional, sekaligus menjadikan seni lukis klasik Bali sebagai garda terdepan budaya bangsa dalam melestarikan seni budaya Bali pada era global.
c.Seni
musik
D i Bali Barat tepatnya di Kabupaten Jembrana 100
km arah ke Barat dari Kota Denpasar menampilkan, kesenian berupa gambelan bambu
(musik dari pohon bambu) lebih dominan, salah satunya adalah Gambelan Jegog
yang merupakan kesenian khas Kabupaten Jembrana. Gambelan “Jegog” adalah gambelan (alat musik) yang terbuat dari pohon bambu berukuran besar yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi seperangkat alat musik bambu yang suaranya sangat merdu dan menawan hati.
a. Kesenian Jegog
Kesenian ini diciptakan oleh seniman yang bernama Kiyang Geliduh dari Dusun Sebual Desa Dangintukadaya pada tahun 1912.
Kata “Jegog” diambil dari instrumen Kesenian Gong Kebyar yang paling besar.
Kesenian Jegog hanyalah berupa tabuh (barung tabuh) yang fungsi awalnya sebagai hiburan para pekerja bergotong royong membuat atap rumah dari daun pohon rumbia, dalam istilah bali bekerja bergotong royong membuat atap dari daun pohon rumbia disebut “nyucuk”, dalam kegiatan ini beberapa orang lagi menabuh gambelan jegog.
Dalam perkembangan selanjutnya Gambelan Jegog juga dipakai sebagai pengiring upacara keagamaan, resepsi pernikahan, jamuan kenegaraan, dan kini sudah dilengkapi dengan drama tarian-tarian yang mengambil inspirasi alam dan budaya lokal seperti yang namanya Tabuh Trungtungan, Tabuh Goak Ngolol, Tabuh Macan Putih dengan tari-tariannya seperti Tari Makepung, Tari Cangak Lemodang, Tari Bambu, sebagai seni pertunjukan wisata.
Penampilan Gambelan Jegog begitu menohok, para penabuh menari-nari di atas gambelan, suara Jegog begitu gemuruh, rancak, riuh, bergaung dan sering menggelegar menembus ruang batas yang bisa didengar dari jarak jauh apalagi dibunyikan pada waktu malam hari suaranya bisa menjangkau jarak sampai 3 (tiga) Km.
b.Jegog Mebarung
Kesenian Jegog ini bisa dipakai sebagai atraksi pertarungan Jegog.
Pertarungan Jegog dalam bahasa Bali disebut "Jegog Mebarung", yaitu pementasan seni Jegog dengan tabuh mebarung (bertarung).
Mebarung artinya bertarung antara dua jegog atau bisa juga bertarung antara tiga Jegog, dalam Bahasa Bali disebut Jegog Barung Dua atau Jegog Barung Tiga.
Jegog mebarung ini biasanya dipertontonkan pada acara-acara syukuran yaitu pada acara suka ria di Desa.
c.Untuk diketahui Bagaimana penampilan Jegog Mebarung, dapat dijelaskan sebagai berikut :
- Dua perangkat gambelan jegog atau tiga perangkat gambelan jegog ditaruh pada satu areal yang cukup untuk dua atau tiga perangkat gambelan jegog.
- Masing-masing Kru Jegog ini membawa penabuh 20 orang.
Pada saat mebarung masing-masing Jegog mengawali dengan menampilkan tabuh yang namanya Tabuh Terungtungan yaitu suatu tabuh sebagai ungkapan rasa terima kasih dan hormat kepada para penonton dan penggemar seni jegog, dengan durasi waktu masing-masing 10 menit.
Tabuh Terungtungan ini adalah tabuh yang suaranya lembut dan kedengarannya sangat merdu karena melantunkan lagu-lagu dengan irama yang sangat mempesona sebagai inspirasi keindahan alam Bali.
Setelah penampilan Tabuh Terungtungan baru dilanjutkan dengan atraksi jegog mebarung yaitu masing-masing penabuh memukul gambelan jegog secara bersamaan antara Kru jegog yang satu dengan kru jegog lawan mebarung.
Penabuh memukul gambelan jegog (musik jegog) dengan sangat keras sehingga kedengarannya musik jegog tersebut sangat riuh dan sangat gaduh dan kadang-kadang para penonton sangat sulit membedakan suara lagu musik jegog yang satu dengan yang lainnya.
Karena saking kerasnya dipukul oleh penabuh, maka tidak jarang sampai gambelan jegognya pecah dan suaranya pesek (serak).
Tepuk tangan dari para penonton sangat rame begitu juga sepirit dari masing-masing Kru jegog sangat riuh saling ejek dan saling soraki.
Apalagi Gambelan Jegognya sampai pecah dipukul oleh penabuh, maka sepirit dari kru Jegog lawannya menyoraki sangat riuh dan mengejek dengan melakukan tari-tarian sambil berteriak-teriak yang bisa kadang-kadang menimbulkan emosi bagi sipenabuh Jegog.
Penentuan kalah dan menang Jegog mebarung ini adalah para penonton karena Jegog mebarung ini tidak ada tim juri khusus jadi tergantung penilaian para penonton saat itu.
Apabila suara salah satu gambelan jegog kedengarannya oleh sipenonton lebih dominan dan teratur suara lagu-lagunya, maka jegog tersebut dinyatakan sebagai pemenang mebarung.
Sedangkan hadiahnya bagi sipemenang adalah berupa suatu kebanggaan saja bagi kru Jegog tersebut.
Karena Jegog mebarung adalah pertunjukan kesenian yang tujuannya untuk menghibur para penonton dan para penggemarnya, pertunjukan jegog mebarung adalah pertunjukan hiburan.
Kesenian Jegog ini sudah melanglang buana karena sudah sering melawat ke Luar Negeri dan telah menembus 3 Benua seperti Eropa, Afrika dan Asia.
Sedangkan intensitas lawatan ke Jepang yang paling menonjol sejak tahun 1971 di kota Saporo, Pulau Hokaido oleh Nyoman Jayus hingga tahun 2003 di Kota Okayama.
Demikian adanya Kesenian Jegog di Kabupaten Jembrana yang terus berkembang dan tidak pernah surut oleh perkembangan jaman dan apabila ingin menikmati keindahan kesenian musik Jegog bisa ditampilkan setiap saat di Kabupaten Jembrana.
d.Seni Sastra
Seperti kesusastraan umumnya, sastra Bali ada yang diaktualisasikan dalam bentuk lisan (orality) dan bentuk tertulis (literary). Menurut katagori periodisasinya kesusastraan Bali ada yang disebut Sastra Bali Purwa dan Sastra Bali Anyar. Sastra Bali Purwa maksudnya adalah Sastra Bali yang diwarisi secara tradisional dalam bentuk naskah-naskah lama. Sastra Bali Anyar yaitu karya sastra yang diciptakan pada masa masyarakat Bali telah mengalami modernisasi. Ada juga yang menyebut dengan sebutan Sastra Bali Modern.
Sastra Bali sebelum dikenal adanya kertas di Bali, umumnya ditulis di atas daun lontar. Karena ditulis di atas daun lontar, "buku sastra" ini disebut dengan "lontar". Memang ada bentuk tertulis lainnya, seperti prasasti, dengan menggunakan berbagai media seperti batu dan lempengan tembaga, namun tidak terdapat karya Sastra Bali ditulis di atas bilah bambu, kulit binatang, kayu, kulit kayu. Belakangan setelah dikenal kertas, penulis karya sastra Bali menuliskan karyanya di atas kertas, bahkan sudah banyak diketik.
Bahasa yang digunakan untuk menulis Sastra Bali ada tiga jenis yaitu Bahasa Jawa Kuna (Kawi Bali), Bahasa Jawa Tengahan, Bahasa Bali.
e.Seni Arsitektur
Bali salah satu pulau terindah di dunia yang
terletak pada wilayah kesatuan NKRI ini, merupakan wilayah favorit wisatawan
manca negara. Masyarakat Bali sangat kuat adat istiadatnya mereka sangat
menjunjung tinggi dan menjaga tradisi mereka sampai sekarang.
Mayoritas penduduk pulau Bali memeluk agama Hindu, Bali terkenal dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya, Bali juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura.
Mayoritas penduduk pulau Bali memeluk agama Hindu, Bali terkenal dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya, Bali juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura.
Di karenakan adat yang sangat kental pada
masyarakat Bali inilah sangat mempengaruhi arsitektur pembangunan rumah tinggal
mereka. Rumah adat Bali sampai sekarang masih diterapkan dengan kemajuan jaman
era moderenisasi tidak dapat menggilasnya begitu saja, pemerintah daerah
menerapkan UU mengenai pendirian bangunan di pulau Bali yang harus menerapkan
hukum-hukum adat mereka.
Rumah Bali harus sesuai dengan aturan Asta Kosala
Kosali ajaran terdapat pada kitab suci Weda yang mengatur soal tata letak
sebuah bangunan, hampir mirip seperti ilmu Feng Shui dalam ajaran Budaya China.
Rumah Bali merupakan penerapan dari pada filosofi
yang ada pada masyarakat Bali itu sendiri. Ada tiga aspek yang harus di
terapkan di dalamnya, aspek pawongan (manusia / penghuni rumah), pelemahan (
lokasi /lingkungan) dan yang terahir parahyangan. Kedinamisan dalam hidup akan
tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara ke 3 aspek tadi.
Untuk itu pembangunan sebuah rumah Bali harus meliputi aspek-aspek tersebut
atau yang biasa disebut Tri Hita Karana.
Pada umumnya bangunan atau arsitektur tradisional
Bali selalu dipenuhi pernik yang berfungsi untuk hiasan, seperti ukiran dengan
warna-warna yang kontras tai alami. Selain sebagai hiasan mereka juga mengan
arti dan makna tertentu sebagai ungkapan terimakasih kepada sang pencipta,
serta simbol-simbol ritual seperti patung.
Bali memiliki ciri khas arsitektur yang timbul
dari suatu tradisi, kepercayaan dan aktifitas spiritual masyarakat Bali itu
sendiri yang diwujudkan dalam berbagai bentuk fisik bangunan yang ada. Seperti
rumah, pura (tempat suci umat Hindu), Banjar (balai pertemuan) dan lain-lain.
Umumnya Bangunan Rumah Adat Bali terpisah-pisah
manjadi banyak bangunan-bangunan kecil-kecil dalam satu area yang disatukan
oleh pagar yang mengelilinginya. Seiring perkembangan jaman mulai ada perubahan
bangunan tidak lagi terpisah-pisah.
Arsitektur Tradisional Bali (ATB) diartikan
sebagai tata ruang dari wadah kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang
secara turun-temurun dengan segala aturan-aturan yang diwarisi dari zaman
dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri fisik yang
terungkap pada lontar Asta Kosala-Kosali, Asta Patali dan lainnya, sampai pada
penyesuaian-penyesuaian oleh para undagi yang masih selaras dengan
petunjuk-petunjuk dimaksud.
Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang mempengaruhi tata nilai ruangnya.
Konsep dasar tersebut adalah:
* Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga
* Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala
* Konsep keseimbangan kosmologi, Manik Ring Cucupu
* Konsep proporsi dan skala manusia
* Konsep court, Open air
* Konsep kejujuran bahan bangunan
Arsitektur tradisional Bali memiliki konsep-konsep dasar dalam menyusun dan memengaruhi tata ruangnya, diantaranya adalah:
* Orientasi Kosmologi atau dikenal dengan Sanga Mandala
* Keseimbangan Kosmologi, Manik Ring Cucupu
* Hierarki ruang, terdiri atas Tri Loka dan Tri Angga
* Dimensi tradisional Bali yang didasarkan pada proporsi dan skala manusia
Ada tiga buah sumbu yang digunakan sebagai pedoman penataan bangunan di Bali, sumbu-sumbu itu antara lain:
* Sumbu kosmos Bhur, Bhuwah dan Swah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir)
* Sumbu ritual kangin-kauh (terbit dan terbenamnya matahari)
* Sumbu natural Kaja-Kelod (gunung dan laut)
* Orientasi Kosmologi / Sanga Mandala
Sanga Mandala
Sanga Mandala merupakan acuan mutlak dalam arsitektur tradisional Bali, dimana Sanga Mandala tersusun dari tiga buah sumbu yaitu:
1. Sumbu Tri Loka: Bhur, Bhwah, Swah; (litosfer, hidrosfer, atmosfer)
2. Sumbu ritual: Kangin (terbitnya Matahari) dan Kauh (terbenamnya Matahari)
3. Sumbu natural: Gunung dan Laut
Hirarki Ruang / Tri Angga
Tri Angga
Tri Angga adalah salah satu bagian dari Tri Hita Karana, (Atma, Angga dan Khaya). Tri Angga merupakan sistem pembagian zona atau area dalam perencanaan arsitektur tradisional Bali.
1. Utama, bagian yang diposisikan pada kedudukan yang paling tinggi, kepala.
2. Madya, bagian yang terletak di tengah, badan.
3. Nista, bagian yang terletak di bagian bawah, kotor, rendah, kaki.
Dimensi Tradisional Bali
Dalam perancangan sebuah bangunan tradisional Bali, segala bentuk ukuran dan skala didasarkan pada orgaan tubuh manusia. Dikenal beberapa nama dimensi ukuran tradisional Bali adalah : Astha, Tapak, Tapak Ngandang, Musti, Depa, Nyari, A Guli serta masih banyak lagi yang lainnya. Sebuah desain bangunan tradidsional Bali tentunya harus memiliki aspek lingkungan ataupun memprhatikan kebudayan tersebut.
Bangunan Hunian
Hunian pada masyarakat Bali ditata sesuai dengan konsep Tri Hita Karana. Orientasi yang digunakan menggunakan pedoman-pedoman seperti tersebut diatas. Sudut utara-timur adalah tempat yang suci, digunakan sebagai tempat pemujaan, Pamerajan (sebagai pura keluarga). Sebaliknya sudut barat-selatan merupakan sudut yang terendah dalam tata-nilai rumah, merupakan arah masuk ke hunian.
Pada pintu masuk (angkul-angkul) terdapat tembok yang dinamakan aling-aling, yang tidak saja berfungsi sebagai penghalang pandangan ke arah dalam (untuk memberikan privasi), tetapi juga digunakan sebagai penolak pengaruh-pengaruh jahat/jelek. Angkul-angkul ini bentuk mirip seperti pagar utama di bangunan modern, sebagai pintu masuk penghubung antara luar dengan area dalam bangunan. Pada bagian ini terdapat bangunan Jineng (lumbung padi) dan paon (dapur). Berturut-turut terdapat bangunan – bangunan bale tiang sangah, bale sikepat/semanggen dan Umah meten. Tiga bangunan (bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam) merupakan bangunan terbuka (tanpa tembok, dengan bangunan dasar berbentul Bale yang sering kita jumpai pada umumnya).
Ditengah-tengah hunian bangunan tradisional Bali, terdapat natah (court garden/halaman) yang merupakan pusat dari hunian. Umah Meten untuk ruang tidur kepala keluarga, atau anak gadis. Umah meten merupakan bangunan mempunyai empat buah dinding, sesuai dengan fungsinya yang memerlukan keamanan tinggi dibandingkan ruang-ruang lain (tempat barang-barang penting & berharga). Hunian tipikal pada masyarakat Bali ini, biasanya mempunyai pembatas yang berupa pagar yang mengelilingi bangunan/ruang-ruang tersebut diatas.
Kajian Ruang Luar dan Ruang Dalam
Mengamati hunian tradisional Bali tentu akan sangat berbeda dengan hunian pada umumnya. Hunian tunggal tradisional Bali berdiri dari beberapa masa yang mengelilingi sebuah ruang terbuka. Gugusan masa tersebut dilingkup oleh sebuah tembok/dinding keliling. Dinding pagar inilah yang membatasi alam yang tak terhingga menjadi suatu ruang yang oleh Yoshinobu Ashihara disebut sebagai ruang luar. Jadi halaman di dalam hunian masyarakat Bali adalah sebuah ruang luar.
Konsep pagar keliling dengan masa-masa di dalamnya memperlihatkan adanya kemiripan antara konsep Bali dengan konsep ruang luar di Jepang. Konsep pagar keliling yang tidak terlalu tinggi ini juga sering digunakan dalam usaha untuk “meminjam” unsur alam ke dalam bangunan. Masa-masa seperti Uma meten, bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam, lumbung dan paon adalah masa bangunan yang karena beratap, mempunyai ruang dalam. Masa-masa tersebut mempunyai 3 unsur kuat pembentuk ruang yaitu elemen lantai, dinding dan atap (pada bale tiang sanga, bale sikepat maupun bale sekenam dinding hanya 2 sisi saja, sedang yang memiliki empat dinding penuh hanyalah uma meten). Keberadaan tatanan uma meten, bale tiang sanga, bale sikepat dan bale sekenam membentuk suatu ruang pengikat yang kuat sekali yang disebut natah. Ruang pengikat ini dengan sendirinya merupakan ruang luar. Sebagai ruang luar pengikat yang sangat kuat, daerah ini sesuai dengan sifat yang diembannya, sebagai pusat orientasi dan pusat sirkulasi.
Pada saat tertentu natah digunakan sebagai ruang tamu sementara, pada saat diadakan upacara adat, dan fungsi natah sebagai ruang luar berubah, karena pada saat itu daerah ini ditutup atap sementara/darurat. Sifat Natah berubah dari ruang luar’ menjadi ‘ruang dalam’ karena hadirnya elemen ketiga (atap) ini. Elemen pembentuk ruang lainnya adalah lantai tentu, dan dinding yang dibentuk oleh ke-empat masa yang mengelilinginya. Secara harafiah elemen dinding yang ada adalah elemen dinding dari bale tiang sanga, bale sikepat dan bale sekenam yang terjauh jaraknya dari pusat natah. Apabila keadaan ini terjadi, maka adalah sangat menarik, karena keempat masa yang mengelilinginya ditambah dengan natah (yang menjadi ruang tamu) akan menjadi sebuah hunian besar dan lengkap seperti hunian yang dijumpai sekarang. Keempatnya ditambah natah akan menjadi suatu ‘ruang dalam’ yang ’satu’, dengan paon dan lumbung adalah fungsi service dan pamerajan tetap sebagai daerah yang ditinggikan. Daerah pamerajan juga merupakan suatu ruang luar yang kuat, karena hadirnya elemen dinding yang membatasinya.
Kajian Ruang Positif dan Ruang Negatif
Sebagai satu-satunya jalan masuk menuju ke hunian, angkul-angkul berfungsi sebagai gerbang penerima. Kemudian orang akan dihadapkan pada dinding yang menghalangi pandangan dan dibelokan ke arah sembilan-puluh derajat. Keberadaan dinding ini (aling-aling), dilihat dari posisinya merupakan sebuah penghalang visual, dimana ke-privaci-an terjaga. Hadirnya aling-aling ini, menutup bukaan yang disebabkan oleh adanya pintu masuk. Sehingga dilihat dari dalam hunian, tidak ada perembesan dan penembusan ruang. Keberadaan aling-aling ini memperkuat sifat ruang positip yang ditimbulkan oleh adanya dinding keliling yang disebut oleh orang Bali sebagai penyengker. Ruang di dalam penyengker, adalah ruang dimana penghuni beraktifitas. Adanya aktifitas dan kegiatan manusia dalam suatu ruang disebut sebagai ruang positip. Penyengker adalah batas antara ruang positip dan ruang negatip.
Dilihat dari kedudukannya dalam nawa-sanga, “natah” berlokasi di daerah madya-ning-madya, suatu daerah yang sangat “manusia”. Apalagi kalau dilihat dari fungsinya sebagai pusat orientasi dan pusat sirkulasi, maka natah adalah ruang positif. Pada natah inilah semua aktifitas manusia memusat, seperti apa yang dianalisa Ashihara sebagai suatu centripetal order.
Pada daerah pamerajan, daerah ini dikelilingi oleh penyengker (keliling), sehingga daerah ini telah diberi “frame” untuk menjadi sebuah ruang dengan batas-batas lantai dan dinding serta menjadi ‘ruang-luar’ dengan ketidak-hadiran elemen atap di sana.Nilai sebagai ruang positip, adalah adanya kegiatan penghuni melakukan aktifitasnya disana.
Pamerajan atau sanggah, adalah bangunan paling awal dibangun, sedang daerah public dan bangunan service (paon, lumbung dan aling-aling) dibangun paling akhir. Proses ini menunjukan suatu pembentukan berulang suatu ruang-positip; dimana ruang positip pertama kali dibuat Pamerajan atau sanggah), ruang diluarnya adalah ruang-negatip. Kemudian ruang-negatip tersebut diberi ‘frame’ untuk menjadi sebuah ruang-positip baru. Pada ruang positip baru inilah hadir masa-masa uma meten, bale tiang sanga, pengijeng, bale sikepat, bale sekenam, lumbung, paon dan lain-lain. Kegiatan serta aktifitas manusia terjadi pada ruang positif baru ini.
Konsistensi dan Konsekuensi
Tidak seperti di beberapa belahan bumi yang lain dimana sebuah bangunan (rumah, tempat ibadah) berada dalam satu atap, di Bali yang disebut sebuah bangunan hunian adalah sebuah halaman yang dikelilingi dinding pembatas pagar dari batu bata dimana didalamnya berisi unit-unit atau bagian-bagian bangunan terpisah yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Sebuah hunian di Bali, sama dengan dibeberapa bagian dunia yang lain mempunyai fungsi-fungsi seperti tempat tidur, tempat bekerja, tempat memasak, tempat menyimpan barang (berharga dan makanan), tempat berkomunikasi, tempat berdoa dan lain-lain. Ruang-ruang, sebagai wadah suatu kegiatan contoh untuk aktivitas tidur, di Bali merupakan sebuah bangunan yang berdiri sendiri.Sedang dilain pihak secara umum sebuah ruang tidur merupakan bagian sebuah bangunan.Ruang tidur adalah bagian dari ruang-dalam atau interior. Uma meten, Bale sikepat, Bale sekenam, Paon merupakan massa bangunan yang berdiri sendiri. Menurut Yoshinobu Ashihara ruang-dalam adalah ruang dibawah atap, sehingga Uma meten dan lain-lain adalah juga ruang-dalam atau interior.Ruang diluar bangunan tersebut (natah) adalah ruang luar, karena kehadirannya yang tanpa atap. Apabila bagian-bagian bangunan Hunian Bali dikaji dengan kaidah-kaidah ‘Ruang luar-Ruang dalam’, terutama juga apabila bagian-bagian hunian Bali dilihat sebagai massa per massa yang berdiri sendiri, maka adalah konsekuensi apabila pusat orientasi sebuah hunian adalah ruang luar (natah) yang juga pusat sirkulasi.Pada kenyataannya ruang ini adalah bagian utama (yang bersifat ‘manusia’) dari hunian Bali.
Apabila dikaji dari rumusan suatu hunian, maka natah adalah bagian dari aktifitas utama sebuah hunian yang sudah selayaknya merupakan bagian dari aktivitas ruang-dalam atau interior. Kemudian apabila dikaitkan dengan keberadaan bale ikepat, bale sekenam dan bale tiang sanga yang hanya memiliki dinding dikedua sisinya saja, serta posisi masing-masing dinding yang ‘membuka’ ke arah natah jelaslah terjadi sebuah ruang yang menyatu. Sebuah ruang besar yang menyatukan uma meten disatu sisi dan bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam serta natah yang layaknya sebuah hunian. Hunian yang sama dengan yang ada pada masa kini, dimana bale-bale adalah ruang tidur, natah adalah ruang tempat berkumpul yang bisa disebut sebagai ruang keluarga.
Apabila dikaitkan lebih jauh, jika kegiatan paon (dapur) bisa disamakan dengan kegiatan memasak dan ruang makan, maka hunian Bali, teryata identik dengan hunian-hunian berbentuk flat pada hunian orang Barat.Kajian terhadap hunian Bali ini, apabila hunian tersebut dipandang sebagai satu kesatuan utuh rumah tinggal, konsekuensinya adalah ruang didalam penyengker (dinding batas) adalah ruang-dalam. Bangunan dalam hunian Bali tidak dilihat sebagai massa tetapi harus dilihat sebagai ruang didalam ruang. Apalagi bila dilihat kehadiran dinding-dinding pada bale tiang sanga, bale sikepat maupun sekenam yang membuka’ kearah yang me-enclose ruang, maka keadaan ini memperkuat kehadiran nuansa ruang-dalam atau interior pada hunian tradisional Bali. Dengan kondisi demikian maka penyengker adalah batas antara ruang-dalam dan ruang-luar (jalan desa). Hal ini ternyata memiliki kesamaan dengan pola yang ada di Jepang, yang oleh Ashihara (1970) dinyatakan:
Japanese wooden houses do not directly face the street but surrounded by fences. Since the garden is invisible from the street, it is ruled by the order inside the house in the case of Japanese houses, garden are ruled by interior order, and fences serve as boundaries to separate interior from exterior space.
Pada kajian ini terlihat adanya kesamaan sifat halaman sebagai ruang-dalam atau interior pada hunian arsitektur tradisional Bali maupun arsitektur tradisional Jepang. Meskipun pada hunian Bali kesan ruang-dalam lebih terasa dan jelas dibandingkan dengan hunian Jepang. Kajian ini semakin menarik apabila dikaitkan dengan teori Yoshinubo Ashihara diatas; bahwa ruang-luar adalah ruang yang terjadi dengan membatasi alam yang tak terhingga (dengan batas/pagar dll) dan juga ruang-luar adalah ruang dimana elemen ketiga dari ruang (yaitu atap) tidak ada. Dilain pihak ruang-dalam adalah lawan dari ruang-luar (dimana terdapat elemen ruang yang lengkap yaitu alas, dinding dan atap). Maka pada kasus hunian, teori Yoshinobu Ashihara ternyata saling pertentangan. Baik pertentangan antara ruang-luar terhadap ruang-dalam dikaitkan dengan terjadinya maupun keterkaitan dengan elemen alas, dinding dan atap.
Pada hunian Jepang, dikatakan oleh Yoshinobu Ashihara dinding pagar adalah batas antara ruang-dalam dan ruang-luar. Pada hunian Bali, penyengker berfungsi sama dengan hal tersebut. Penyengker bisa menghadap alam bebas, tetangga maupun jalan desa. Pada kasus penyengker menghadap jalan desa, kemudian jalan desa menghadap penyengker bangunan yang lain, maka jalan desa adalah ruang luar yang positip. Pada jalan desa terjadi aktivitas dimana masyarakat menggunakan baik untuk kegiatan sehari-hari maupun sarana kegiatan prosesi ritual dan seni. Aktifitas yang memusat ke dalam (centripetal order) ini disebut Yoshinobu Ashihara, ruang positip
3 .SENJATA
Keris Bali, sebagai senjata tradisional Bali merupakan perlambang estetika tinggi, yang memiliki arti seremonial dan teknologi metalurgi unggul, di samping benda antik yang sangat berharga. Keris adalah karya agung warisan kebudayaan Indonesia yang sangat dihargai dan mampu memukau masyarakat dunia.
4. BAHASA
Bali sebagian besar menggunakan bahasa Bali dan bahasa Indonesia, sebagian besar masyarakat Bali adalah bilingual atau bahkan trilingual. Bahasa Inggris adalah bahasa ketiga dan bahasa asing utama bagi masyarakat Bali yang dipengaruhi oleh kebutuhan industri pariwisata. Bahasa Bali di bagi menjadi 2 yaitu, bahasa Aga yaitu bahasa Bali yang pengucapannya lebih kasar, dan bahasa Bali Mojopahit.yaitu bahasa yang pengucapannya lebih halus.
5. TEKNOLOGI
Masyarakat Bali telah mengenal dan berkembang system pengairan yaitu system subak yang mengatur pengairan dan penanaman di sawah-sawah. Dan mereka juga sudah mengenal arsitektur yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan yang menyerupai bangunan Feng Shui. Arsitektur merupakan ungkapan perlambang komunikatif dan edukatif. Bali juga memiliki senjata tradisional yaitu salah satunya keris. Selain untuk membela diri, menurut kepercayaan bila keris pusaka direndam dalam air putih dapat menyembuhkan orang yang terkena gigitan binatang berbisa.
6. PENGETAHUAN
Banjar atau bisa disebut sebagai desa adalah suatu bentuk kesatuan-kesatuan social yang didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan social tersebut diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara keagamaan. Banjar dikepalahi oleh klian banjar yang bertugas sebagai menyangkut segala urusan dalam lapangan kehidupan sosial dan keagamaan,tetapi sering kali juga harus memecahkan soal-soal yang mencakup hukum adat tanah, dan hal-hal yang sifatnya administrasi pemerintahan.
7.MATA PENCAHARIAN
Di Bali jenis mata pencahariannya adalah bertani disawah. Mata pencaharian pokok tersebut mulai bergeser pada jenis mata pencaharian non pertanian. Pergeseran ini terjadi karena bahwa pada saat sekarang dengan berkembangnya industri pariwisata di daerah Bali, maka mereka menganggap mulai berkembanglah pula terutama dalam mata pencaharian penduduknya.
Sehingga kebanyakan orang menjual lahannya untuk industri pariwisata yang dirasakan lebih besar dan lebih cepat dinikmati. Pendapatan yang diperoleh saat ini kebanyakan dari mata pencaharian non pertanian, seperti : tukang, sopir, industri, dan kerajinan rumah tangga. Industri kerajinan rumah tangga seperti memimpin usaha selip tepung, selip kelapa, penyosohan beras, usaha bordir atau jahit menjahit.
8.PAKAIAN ADAT
Pakaian adat Bali sebenarnya memiliki makna dan tujuan
tertentu atau masing-masing walaupun kelihatannya sama. Pakaian yang digunakan
pada saat upacara/ritual tentunya bereda dengan pakaian sehari-hari.
Dibedakan antara Pria dan Wanita. Kita juga dapat mengetahui status sosial
berdasarkan corak dan bentuk dari pakaian adat di sini.
A. Pria
Busana
tradisional pria umumnya terdiri dari:
- Kain wastra (kemben)
- Sabuk
- Keris
- Beragam ornamen perhiasan
- Udeng (ikat kepala)
- Kain kampuh
- Umpal (selendang pengikat)
Sering pula
dikenakan baju kemeja, jas dan alas kaki sebagai pelengkap.
B. Wanita
Para penari
cilik mengenakan gelung, songket dan kain prada. Busana tradisional wanita
umumnya terdiri dari:
- Sabuk prada (stagen), membelit pinggul dan dada
- Selendang songket bahu ke bawah
- Kain tapih atau sinjang, di sebelah dalam
- Beragam ornamen perhiasan
- Gelung (sanggul)
- Sesenteng (kemben songket)
- Kain wastra
Sering pula
dikenakan kebaya, kain penutup dada, dan alas kaki sebagai pelengkap.
9.MAKANAN dan MINIMAN KHAS BALI
JAJE BATUN
BEDIL
Bentuknya bulatan-bulatan pipih. Rasanya kenyal gurih diselimuti adonan encer dari gula merah. Taburan kelapa parut yang gurih dan wangi membuat rasanya makin enak.
Nama batun bedil alias batu bedil atau peluru karena bentuknya mirip dengan peluru.
JAJE LAKLAK
Bentuknya bulatan-bulatan pipih. Rasanya kenyal gurih diselimuti adonan encer dari gula merah. Taburan kelapa parut yang gurih dan wangi membuat rasanya makin enak.
Nama batun bedil alias batu bedil atau peluru karena bentuknya mirip dengan peluru.
JAJE LAKLAK
Kalau di
Jawa di kenal dengan nama Serabi, di Bali juga ada.. namanya Laklak, jaje
Laklak
merupakan
jajanan pasar tradisional Bali yang terbuat dari tepung beras, Kapur sirih,
Daun kayu
sugih dan bahan tambahannya berupa parutan kelapa, gula merah dan garam.
Bentuknya bundar, salah satu sisinya kasar berwarna hijau dan sisi lainnya lembut berwarna putih. Biasanya laklak disajikan dengan ditaburi parutan kelapa dan disiram dengan larutan gula merah yang cukup kental.
Bentuknya bundar, salah satu sisinya kasar berwarna hijau dan sisi lainnya lembut berwarna putih. Biasanya laklak disajikan dengan ditaburi parutan kelapa dan disiram dengan larutan gula merah yang cukup kental.
JAJE ULI
Jaja uli merupakan makanan khas bali yang diwariskan oleh nenek moyang. Jaja uli ini biasanya digunakan sebagai sesajen pada saat odalan seperti hari raya galungan, hari raya kuningan, hari raya pagerwesi dan lain – lain.
Terbuat dari bahan dasar tepung beras jaje uli ada dua variasi yaitu jaja uli berwarna putih dan jaja uli berwarna coklat.
Jika yang jaja uli putih dibuat dengan campuran gula pasir,maka jaja uli kering coklat dibuat dengan campuran gula bali. Namun walaupun berbeda warna jaje tersebut rasanya tetap enak.
Jaje uli ada yang dijual basah atau digoreng kering.
JUKUT SEROMBOTAN
Jaja uli merupakan makanan khas bali yang diwariskan oleh nenek moyang. Jaja uli ini biasanya digunakan sebagai sesajen pada saat odalan seperti hari raya galungan, hari raya kuningan, hari raya pagerwesi dan lain – lain.
Terbuat dari bahan dasar tepung beras jaje uli ada dua variasi yaitu jaja uli berwarna putih dan jaja uli berwarna coklat.
Jika yang jaja uli putih dibuat dengan campuran gula pasir,maka jaja uli kering coklat dibuat dengan campuran gula bali. Namun walaupun berbeda warna jaje tersebut rasanya tetap enak.
Jaje uli ada yang dijual basah atau digoreng kering.
JUKUT SEROMBOTAN
Sejenis urap
sayur mayur, kangkung, bayam, kancang panjang, taoge, dll, tapi diatasnya
disiram sambal yang encer, terus biasanya dikasih irisan terong bulet yang
sebesar bola bekel itu, kadang juga diberi irisan buah paya (pare), dan
ditaburi kacang goreng.
JUKUT ARES
JUKUT ARES
Jukut Ares
terbuat dari pohon pisang yang masih kecil dicampur dengan rusuk dan daging
(sapi, babi, bebek), dan rempah-rempah. Hal ini biasanya disajikan dalam
upacara ritual Bali, disajikan untuk keluarga dan orang-orang yang membantu
dalam mengatur upacara. Jukut Ares disajikan dengan nasi.
LAWAR
LAWAR
Makanan ini
digunakan sebagai sajian dan hidangan, serta telah dijual secara luas di
rumah-rumah makan dengan merek lawar Bali. Lawar adalah salah satu jenis lauk
pauk yang dibuat dari daging yang dicincang, sayuran, sejumlah bumbu-bumbu dan
kelapa dan kadang-kadang di beberapa jenis lawar diberikan unsur yang dapat
menambah rasa dari lawar itu ialah darah dari daging itu sendiri, darah
tersebut dicampurkan dengan bumbu-bumbu tertentu sehingga menambah lezat lawar
tersebut. Lawar sendiri tidak dapat bertahan lama makanan ini jika didiamkan di
udara terbuka hanya bertahan setengah hari.
lawar di bali bukan Cuma babi, banyak jenisnya ada lawar ayam, lawar kacang panjang, dsb.
SATE KAKUL
lawar di bali bukan Cuma babi, banyak jenisnya ada lawar ayam, lawar kacang panjang, dsb.
SATE KAKUL
Kakul atau
keong sawah merupakan sajian kuliner unik dan termasuk sulit dan jarang ditemui
namun peminat masakan satu ini semakin meluas. DIkarenakan makanan ini sehat
dan tanpa kolesterol .
SATE
NYUH/KELAPA
Nyuh atau
kelapa merupakan bahan dominan di sate khas pulau dewata ini. Kelapa dicampur
dengan daging ( babi, ayam, sapi ) ataupun ikan ( sesuai keinginan ) dan
diracik dengan bumbu rempah-rempah khas Bali.
BETUTU AYAM/BEBEK
merupakan salah satu masakan khas Bali yang sangat populer dan diburu oleh pencinta kuliner dalam dan luar negeri.
Tidak salah jika Betutu adalah masakan kebanggaan masyarakat Bali. Biasanya dibuat dari ayam/bebek yang dibungkus daun pisang, lalu dibungkus lagi dengan pelepah pinang sehingga rapat. Ayam/Bebek ditanam dalam lubang di tanah dan ditutup dengan bara api selama 6-7 jam sampai matang.
Karena proses masak yang rumit dan memakan waktu lama inilah yang membuat betutu khas Bali sangat terkenal dan menjadi sajian istimewa di rumah makan.
BE PASIH
Makanan ini
terbuat dari ikan laut segar, yang dilaburi dengan bumbu bawang putih,
ketumbar, kunyit, terasi, garam dan kadang-kadang dengan kencur. Setelah bumbu
ikannya meresap, lalu dipanggang dengan arang kayu atau arang batok kelapa.
Adapun bahan sambalnya terdiri atas bawang merah, cabai rawit, sereh, terasi
bakar, garam, dan bisa juga ditambahkan cabai besar untuk memberi tambahan
rasa. Bahan-bahan tersebut dicampur, dirajang halus, lalu diremas-remas untuk
menyatukan rasa. Terakhir, ditambahkan minyak kelapa asli dan air perasan jeruk
limau.Makanan ini cukup populer di daerah-daerah pesisir Bali; diantaranya di
pantai Jimbaran (Kuta), pantai Sanur (Denpasar), dan pantai Lebih (Gianyar).
RUJAK BULUNG
Hampir sama
dengan rujak kuah pindang. Perbedaannya hanya saja pada rujak bulung, mangga
diganti dengan bulung/ rumput laut dan ditambah parutan kelapa serta sedikit
lengkuas dan jeruk lemo. Ada 2 jenis rumput laut yang biasa digunakan untuk
rujak ini yaitu yang berwarna putih dan hijau.
ES DALUMAN/CINCAU
ES DALUMAN/CINCAU
Di Bali es
daluman merupakan minuman tradisional yang memukau. Minuman ini terbuat dari
daun daluman yang dicampur air hangat, diremas-remas hingga berbusa, kemudian
disaring hingga bersih, lalu didiamkan pada tempat yang sejuk kurang lebih 1-2
jam.
Setelah mengetal, daluman ini bisa langsung dikomsumsi dengan campura santan, gula merah dan es secukupnya. Kesegarannya langsung berasa. Selain dapat mengatasi sembelit, minuman ini dapat mengurangi panas dalam.
Setelah mengetal, daluman ini bisa langsung dikomsumsi dengan campura santan, gula merah dan es secukupnya. Kesegarannya langsung berasa. Selain dapat mengatasi sembelit, minuman ini dapat mengurangi panas dalam.
SUMBER : http://forumgunturnet.blogspot.com/
Kesenian Di BALI « Widikadex’s Weblog
http://www.slideshare.net/omcivics/kebudayaan-bali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar